Minggu, 15 November 2009

Islam Prematur Masyarakat Akademis

Kelahiran Islam dari kesadaran manusia adalah problem. Islam yang paripurna hanya Islam versi Tuhan. Tidak ada yang tahu persis keberislaman yang model seperti apa kiranya, yang sesuai dengan versi-Nya. Semuanya sebatas berjalan pada satu titik pencarian yang tanpa ujung. Perjalanan dan proses dalam pencarian meniscayakan kontemplasi, curahan nalar dan perenungan panjang
untuk meraih kesimpulan. Bisa dikatakan belajar untuk resah. Karena kebenaran yang sejati, setidaknya menurut sang pencari yang tidak malas, akan muncul dari proses bergumul dengan resah. Orang yang selalu resah, yang selalu merasa tidak puas, yang selalu merasa perlu ditinjau ulang kebenaran yang didapatkan, yang subyektiv dan nisbi—apalagi kebenaran konvensional. Kepuasan hanya fantasi yang menipu, yang menjanjikan sebuah kedustaan yang akut. Para filsuf dan orang-orang besar dalam sejarah adalah orang yang sedang berusaha menaklukkan keresahannya sendiri. Penekanannya terletak pada proses pencarian itu, yang selalu saja membikin resah.

Landasannya adalah istidzlal (penalaran dengan menyusun premis-premis logis dalam pencapaian kebenaran), dan apa yang dicapai, diyakini. Karena jika dibalik, batasan-batas keyakinan dipatok terlebih dahulu dan kemudian baru menalar dalam mencari bukti-bukti logis yang sesuai dengan batasan-batasan itu, maka akan menimbulkan religiuitas yang apologetik. Nyatanya pihak yang telah mematok batasan keyakinan, cenderung memunguti dan mencomot premis-premis kebenaran yang telah diraih oleh pihak lain, semisal Barat—dengan "bermuka tembok" dikatakan semua yang didapatkan Barat sudah ada di Quran. Barat yang cape-cape riset, penelitian dan percobaan, setelah berhasil dan teruji kebenarannya, mereka dengan serta-merta mengakuinya. Dan ironinya, mereka merasa pihak yang paling Islam dan memfonis pihak lain yang notabene teman seagamanya, yang ketepatan suka juga mengkutip-kutip pemikiran Barat dengan jujur adalah tindakan yang salah, dan menghardiknya sebagai golongan yang terkontaminasi alias keberislaman yang tidak orisinal. Pelacuran intelektual telah memasuki pori-pori nalarnya, dengan tanpa jujur-feer dan tanpa berani menyatakan bahwa dirinya hanya lah sebatas pemungut data. Hal ini bisa kita amati dalam masalah i'jaz 'ilmi, ekonomi Islam, dll, seakan teori dan rumus ala Barat yang sekedar dikupluki. Moral lagi-lagi dicampakkan demi mempertahankan keyakinan yang—tanpa disadari—adalah salah kaprah. Amin al-Khuli jauh-jauh hari sudah tidak setuju dengan i’jaz ‘ilmi: sebuah bentuk religiuitas yang apologetik.

Moral dinomor duakan dari legal-formal akan menggerus nilai-nilai humanisme dan a-historis. Tidak kaget jika saya pernah diusir dari tempat duduk oleh gadis [mahasiswi] bercadar, lantaran dia mengira “duduk berdampingan dengan pria lain adalah tidak boleh”—meski membikin berang teman-teman yang duduk di baris belakang saya, dengan menceletuk keras, "Mobil embahmu apa maen usur seenaknya saja!". Fenomena ini, bagi saya, adalah fenomena yang sangat menggelikan dan sangat memprihatinkan bagi Islam sebagai Agama. Islam difahami dengan salah-kaprah, dan akibatnya seakan Islam tidak realistis dan a-sosial. Barang kali saya merasa baru melihat keberislaman yang sangat kaku justru ada di komunitas masyarakat akademis, tidak saya temukan pada waktu saya di pesantren. Ironi memang. Saya menemukan fenomena Islam yang membebaskan dan dinamis dalam dimensi legal-formal syariah di pesantren klasik, yang sering mendapatkan tudingan "kolot dan lapuk", di mana mereka seakan hafal pendapat-pendapat para ulama, dari pendapat yang dianggap paling kuat sampai yang paling lemah. Dan tidak jarang di dalam menetapkan kongklusi hukum, dengan berani, mengambil pendapat yang dianggap lemah, mengingat pendapat itu relevan dengan konteks kekinian. Ada upaya kontekstualisasi syariah. Karena itu, jika seorang perempuan itu adalah seorang yang alumni pesantren klasik, dia akan tahu bahwa “di tempat yang ramai, seperti bus angkutan umum, adalah tempat yang aman dari fitnah”, maka dia tidak bakal melakukan kelakuan yang memalukan dan malu-maluin seperti di atas. Kalau begitu, hayo siapa yang kolot?!

Cadar, menurut sumber yang saya dapatkan, bukan fenomena keberagamaan an sic, melainkan ada alasan-alasan yang cukup fariativ: adakalanaya menghilangkan jejak dari incaran para "pendekar mata keranjang" atau para "pendekar berwatak jahat", adakalanya agar wajah terawat-bersih tidak tersentuh kotoran dan debu, adakalanya—barang kali—faktor 'caper', dan masih ada lagi alasan yang bukan bersifat religius lainnya. Dari sekian banyak warna-warni motif alasan, bisa dipastikan bahwa Cadar adalah bukan simbol kesalihan seseorang, bahkan moralitas sebagian seorang yang bercadar tidak lebih baik daripada yang tidak bercadar—apalagi dalam konteks sosial, yang meniscayakan refleksi-ekspresi raut muka yang bisa menggambarkan kepribadian.
Gembar-gembor "pengharaman pacaran" yang digulirkan kalangan Ucrit (temannya Usroh), yang pernah bergulir di tengah-tengah kita dengan menyebarkan angket adalah cemin kemunafikan mereka, yang cenderung sok alim dan sok Islam, yang pada hakikatnya mereka juga adalah pelakunya. Mereka berdalih “pacaran yang Islami”. Pacaran diislamkan. Mereka dalam berpacaran tidak kalah ‘parahnya’. [Di sini saya tidak perlu mengkongkritkan bentuk ‘keparahannya’ itu]. Justru mereka adalah golongan yang tidak memiliki kesabaran menahan “gatal”, sehingga dengan tanpa pikir panjang menikah dalam usia “balita” adalah solusinya.

Pemahaman yang sangat permatur dengan mengatas namakan Islam, tanpa sadar, adalah bumerang bagi Islam. Sebab, Islam semakin dijauhkan dengan alam realita, yang demikian dinamis. Yang disayangkan lagi adalah sebuah pemahaman telah dianggap sebagai Islam sebenarnya. Tidak mengapa bukan jika pemahaman itu sudah melalui proses pendewasaan, seperti pemahaman santri yang berusaha mengadaptasikan Islam dengan positif dan progresif, bukan hanya berhenti pada pemahaman terhadap teks-teks klasik (disebut dengan Kitab Kuning), melainkan selangkah lebih maju dengan mengembangkan fiqh al-manhaji?

M. Ulinnuha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar