Minggu, 15 November 2009

URGENSITAS PENYEIMBANG

Seimbang, berimbang, adalah satu kata yang artinya hampir menyerupai kata adil dalam arti tidak berat sebelah maupun sama. Dalam kamus peristilahan norma-norma Islam, kita mengenal kata tawazun dalam arti yang sama, sekaligus lebih mewakili bila dibandingkan dengan istilah lainnya.


Tawazun adalah satu sikap yang semestinya dimiliki oleh setiap insan dalam melakukan berbagai hal dan beraktifitas. Karena, sejauh kita mengenal islam, hanya Islamlah satu-satunya agama yang memiliki prinsip ini. Baik dalam aktifitas ruhani maupun jasmani. Salah satu bukti wujud prinsip ini dalam Islam adalah banyaknya kita temukan pesan –pesan agama yang tertuang dalam bentuk peribahasa. Seperti, kun fursanan bi an-nahar wa ruhbanan bi al-lail yang artinya jadilah penunggang kuda (pencari rezeki) di siang hari, tapi jangan lupa untuk menjadi Rahib (ahli ibadah) di malam hari. Pepatah ini bertujuan membimbing kita untuk selalu berusaha mencari dan memenuhi kebutuhan duniawi, tapi ingat, harus diimbangi dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan ukhrawi.

Wujud lain yang menguatkan kepada kita bahwa tawazun merupakan kebutuhan, dapat kita rasakan dalam hal masak-memasak. Ketika seseorang memasak, setelah menaburi garam ia juga akan menaburi gula dalam kadar secukupnya, begitu juga sebaliknya. Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan rasa asin maupun manis pada masakan tersebut, sehingga rasa asin atau manisnya stabil dan tidak berlebihan. Jadi, dari uraian diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa sebagian fungsi penyeimbang adalah untuk menstabilkan.

Demikian pula dalam berinteraksi, kita perlu memiliki sikap seperti gula atau garam diatas. Hal ini berdasarkan fenomena bahwa segala macam bentuk interaksi seperti persahabatan, group-group olah raga, musik, pecinta alam maupun berbagai club study tidak akan terjamin kelanggengannya bila interaksi ini berjalan tanpa diiringi sikap saling mengimbangi. Namun, perlu diketahui bahwa sikap ini akan sulit terwujud bila yang bersangkutan belum saling mengenal dan memahami.

Sekarang, yang menjadi permasalahan, apa standar yang akan kita jadikan tolak ukur dalam mengukur kadar suatu penyeimbang? Hal-hal seperti ini kelihatannya amat sepele, namun, terkadang, tanpa disadari, ia telah dan akan menggerogoti sebagian besar bentuk interaksi yang kita jalin. Seorang yang meyakini bahwa kehidupan ini bukanlah semata-mata untuk diri sendiri, melainkan ia hanyalah bagian dari kehidupan lainnya, tentu akan berusaha melakukan berbagai hal demi tercapainya jalinan harmonis antar sesama makhluk disekitarnya maupun diseluruh jagad raya. Karena ia sadar, bahwa kebahagiaan hidupnya memiliki keterkaitan dengan kebahagiaan orang-orang disekitarnya. Tidaklah dikatakan seseorang bahagia dengan kenikmatan dan menikmati apa yang ada pada dirinya. Jiwanya akan berontak dan tidak akan tenang selama hak-haknya tidak terpenuhi. Karena pada hakikatnya, suatu jiwa memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan jiwa-jiwa lainnya yang sesuai dengannya. Untuk itulah, pemilik jiwa tersebut perlu mencari jiwa-jiwa yang lain itu, demi memenuhi kebutuhan jiwanya.

Dalam diri kita terdapat berbagai macam wasa’il yang dapat kita gunakan dalam memenuhi hal-hal diatas. Diantaranya, manusia memiliki perasaan, yang dengannya kita dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Jadi, hambar dan dan antusiasnya sikap seseorang dapat kita ukur dengan perasaan. Demikian halnya dengan akal yang dengannya manusia dapat mengenal dan menyimpulkan cara-cara beradaptasi dengan lingkungannya. So, alangkah malangnya manusia yang tidak dapat menggunakan wasa’il yang sudah dimilikinya. Coba Anda bayangkan! Apa jadinya dunia ini bila dihuni oleh manusia-manusia yang menomorsatukan egonya sendiri. Sungguh, akan tiada lagi arti kesejatian, kesetiaan, dan keabadiaan. Haruskah kita pertanyakan kembali relevansi “Al-Insan madaniyyun bi at-thoba’I”?

Semoga tulisan ini dapat menggugah kita dan selanjutnya menyadarkan akibat yang akan timbul bila masih banyak diantara manusia yang kurang memahami urgensitas penyeimbang.

M. Ulinnuha











Tidak ada komentar:

Posting Komentar