Minggu, 15 November 2009

Islam Sejati vis a vis Islam Madzhab Wacana (Sebuah Percaturan Islamic Study)

Syahdan, belajar Islam di Barat unggul dalam segi metodologi, dan belajar Islam di dunia Timur-Islam unggul dalam segi materi. Keharuman di satu dimensi, rupanya meniscayakan kebacinan di satu dimensi yang lain. Plus-minus itu terpatri semenjak Islam ‘dilirik’ oleh Barat sebagai objek ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan sudah seluruh disiplin ilmu pengetahuan Islam dikuasai dengan baik oleh Barat.

Di tangan Barat, wajah ilmu pengetahuan Islam berubah, yang menggelikan, yang mengguncang bangunan keyakinan Islam yang tertanam di dalam lubuk sejak lama, yang memukau, dan yang sekaligus menghardik kesadaran. Barat bisa menjadikan Islam yang berbeda dan yang lain. Dalam mengkaji, ada jarak yang ketat antara subjek dan objek kajian, tidak berlandaskan pada prasangka ideologis, pra-wacana, dan keyakinan yang terbangun semenjak kecil yang tersemat di alam bawah sadar, sehingga bisa melihat objek secara kritis-obyektif: Barat bak memberikan cermin agar umat Islam berkaca, barang kali di wajahnya telah tumbuh jerawat-nanah dan darah, barang kali di kedua lubang hidungnya ada ingus yang setengah mengering, dan barangkali ada belek di mata dan bekas air liur yang keluar dari mulut. Barat—dengan mengecualikan para pengkaji yang didorong murni demi mencari kebenaran yang ingin dipeluk—menganggap mempelajari Islam hanya sebagai salah satu fenomena dunia yang perlu dipelajari, dan sebagai tetangga peradaban yang memiliki weltanshaung (pandangan hidup) sendiri, yang baginya, berinteraksi dan saling mengusik adalah hal yang pasti. Seakan Almarhum Prof. Dr. Edward Sa’id, semoga Allah memberikan rahmat kepadanya, berujar bahwa, Barat mempelajari dunia Timur, pada umumnya, dan Islam, pada khususnya, adalah bertujuan imperialisme dan kolonialisme. Sejatinya Barat mempelajari dan memahami dunia Timur-Islam dengan dobel ganda: nafsu untuk berkuasa, dan mengambil nilai yang bisa menyembuhkan krisis nilai yang menjangkiti dunia Barat. Sebagai misal, tradisi sufisme Islam diadopsi untuk menangani krisis spiritual Barat yang semakin materialis.
Kajian Islam yang dihasilkan Barat bisa memukau. Alat bedah yang digunakan Barat relatif canggih dan baru: dengan menggunakan metodologi yang telah ditemukan, yang semarak didiskusikan, di Barat. Dengan mengedepankan metodologi, akan ada pereduksian data dan—tidak jarang terjadi—“pemerkosaan” fakta, serta membuat bukti-bukti fiktiv sebagai penutup terhadap kekosongan yang ada. Karena metodologi memiliki sifat pembawaan, yaitu karakteristik yang reduktif. Di samping itu, kajian mereka tidak sepenuh hati, tetapi setengah hati, karena target mereka bukanlah mengusung “Islam sejati” melainkan mengusung “Islam madzhab wacana”.
Kajian Islam di dunia Islam, yang dikaji oleh orang sendiri, sejak masa kemunduran Islam sampai awal abad ke-20, telah mengedepankan data, fatkta, dan bersifat normatif. Tanpa ada metodologi baru sebagai pisau analisa, sebuah kajian seakan berisikan tumpukan data yang tidak bergairah, mati, tidak bisa didayagunakan dan diproyeksikan sebagai maenstream pemikiran yang bisa mengusung kemajuan dan kontekstual. Penyuguhan kajian Islam yang bersifat normatif, bagi sebagian orang, tidak sampai pada puncak klimaks-intelektual, yang miskin analisa sehingga ketika disimak hanya akan mengakibatkan ‘ejakulasidini-pemikiran’ bagi penyimaknya.
Ada satu generasi—yang saya namakan generasi emas—muncul di tubuh Islam. Mereka membawa kecenderungan baru dalam mengkaji Islam. Disamping penguasaan materi dan data yang cukup mumpuni, pun, mereka menggunakan metodologi baru yang dipinjam dari dunia Barat sebagai pisau analisanya. Sekedar menyebutkan sebagian, seperti Abdurahman Badawi dengan metode eksistensialis, Hasan Hanafi dan Adones (nama asli Ali Ahmad Sa’id) di dalam karya al-Tsabit wa al-Mutahawil, dengan metode fenomenologi, Muhammad Abid al-Jabiri dengan metode strukturalis, Husein Murwah, Tayyib Tizini dan Mahmud Isma’il dengan metode dialektika-historis-materialis, dan pemikir lain, yang tidak disebutkan di sini. Tujuan yang saya tangkap dari mereka, adalah demi sebuah progresifitas dan kemajuan Islam. Namun, yang dikhawatirkan, mereka menganggap metode sebagai satu-satunya mantra tua yang bisa datang untuk menyihir, ‘berpuas diri’, yang sejatinya metode itu sudah ditinggalkan, bahkan diruntuhkan dengan teori baru, sejak lama di bumi pertiwi metode itu lahir, dan terjebak pada reduksionisme sebagai karakteristiknya yang paten. Satu keuntungan, pisau analisa mereka bukan untuk menikam Islam, sebagaimana sakwasangka sebagian orang. Justru, orang seperti Ali Sari’ati, mengambil pisau analisa dari Barat untuk menikam Barat.
Sebagian orang Islam, berasumsi bahwa, saat ini, kiblat ilmu pengetahuan Islam adalah Barat. Mereka berbondong-bondong menuju Barat. Mereka baru merasa pede, kalau sudah pernah kuliah di Barat atau sudah menulis dengan mengutip sana-sini karya pemikir Barat. Bagi saya, kecenderungan semacam ini adalah wajar dan seharusnya dilakukan, meski terasa ironis. Karena Islam telah kecolongan untuk kesekian kalinya. Lebih tragis lagi, umat Islam bodoh dengan Islam. Mestinya harus ada koreksi internal. Apa kesalahan umat Islam dalam mengkaji? Mengapa syahwat-intelektual mereka, sebagian umat Islam, mengendor dalam mengkaji Islam yang disuguhkan oleh umat Islam sendiri? Namun, dari kajian Islam yang disuguhkan generasi emas, cukup efektiv memenuhi, meski tidak bisa luput dari kekurangan.
Saya terusik dengan pertanyaan yang menggaruk-garuki hati yang tidak gatal, bisakah mengkaji ilmu pengetahuan Islam dengan pisau analisa post-metodologi, dengan mengingat metodologi akan menjebak kita pada kubangan reduksionisme dan kolonialisme, karena metodologi akan menafikan dan menggerus metodologi lain? Bukan kah, lepas dari satu metode akan masuk kepada metode yang lain? Atau mengkaji dengan multi-metode?
Kesalahan fatal bagi umat Islam, kata Mohammed Arkoun, adalah dalam mengkaji Islam lebih mengedepankan pembacaan yang bersifat teologis (qira’ah imaniyyah) daripada pembacaan yang bersifat ilmiah. Sehingga menimbulkan rasa takut terlebih dahulu dan tumpulnya daya kritis. Jika dibalik, mengkaji Islam ‘habis-habisan’ dengan pembacaan ilmiah dengan semua metode yang paling canggih, setelah berhasil baru kemudian disusul dengan pembacaan teologis, maka akan jauh lebih baik daripada yang awal: kritisisme-ilmiah sebagai raja dan pembacaan teologis sebagai punggawanya.
Umat Islam untuk menjadi diri sendiri seakan terasa berat dipikul pada pundak sendiri, sehingga seakan perlu meminjam dan meminta bantuan atau dibantu. Pencarian identitas sesungguhnya mengandaikan kemandirian: ia ada karena ada sesuatu yang mandiri pada dirinya, bukan diadakan oleh pihak lain. Bisakah studi Islam disapih dari induk Barat? Butuh berapa generasi lagi kah studi Islam bisa mandiri dan bisa mengusung Islam sejati? eNdilalahe, kita punya tradisi malas.

M. Ulinnuha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar